Sejarah Peunayong di Banda Aceh, Dari Tempat Berteduh Hingga Didesain Belanda Jadi Chinezen Camp

Banda Aceh – Lalu-lalang kendaraan dan suara klakson yang bersahut-sahutan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian di kawasan Peunayong, Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh.

Sinar matahari yang menyala terik, semakin menambah bising suasana pada siang, Senin (7/9/2020).

Tepatnya di jalan Kartini Gampong Peunayong, Kota Banda Aceh.  Di sana selalu aktif dan tak pernah sepi dari manusia yang datang.

Orang-orang hilir mudik, datang dan pergi secara bergantian setiap waktu. Setiap manusia yang datang ke sini terbenam dengan aktivitas transaksi jual-beli barang kebutuhan pokok.

Begitulah sekilas suasana di suatu sudut pasar Peunayong, Banda Aceh. 

Saban hari di sana, dari trotoar jalan hingga gang-gang dan dalam gedung, selalu dipenuhi oleh lautan manusia. Tidak hanya pada siang hari, tapi dari pagi hingga ke pagi lagi selalu ramai manusia. Karena Peunayong merupakan salah satu pusat perdagangan terbesar di Kota Banda Aceh.

Sejarah

Berdasarkan catatan sejarah Aceh, Peunayong berasal dari kata Peumayong yang berarti tempat berteduh.

Karena pada tempo dulu daerah ini banyak ditumbuhi pohon-pohon besar yang sangat rimbun sampai ke daerah Ujong Peunayong (saat ini Gampong Lampulo) yang menjadi tempat persinggahan.

Berawal dari sinilah masyarakat menjuluki kata Peumayong menjadi Peunayong. Hal ini disebabkan oleh kesalahan dalam pengejaan kata oleh sebagian besar masyarakat sehingga lebih mudah menyebutnya Peunayong. Penyebutan ini terus melekat dan menjadi kebiasaan bagi masyarakat setempat dan sekitarnya.

Wilayah Gampong Peunayong tempo dulu sampai ke Gampong Lampulo yang dulunya disebut Ujong Peunayong.

Kini Gampong Peunayong telah dimekarkan menjadi 5 (lima) gampong administratif yang berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Kuta Alam. Yaitu Gampong Mulia, Gampong Lampulo, Gampong Lamdingin, Gampong Laksana, dan Gampong Keuramat.

Sejak dulu Peunayong memang telah menjadi daerah internasional. Pada zaman kepemimpinan Sultan Iskandar Muda daerah ini dijadikan sebagai kota “spesial”. Julukan spesial karena Sultan memberikan rasa aman kepada para tamu yang datang ke daerah ini. Bahkan tak jarang Sultan juga menjamu para tamu kerajaan yang datang dari Eropa maupun Tiongkok.

Hubungan Aceh dan Tiongkok semakin kuat ketika Laksamana Cheng Ho melakukan kunjungan ke Kerajaan Samudera Pasai di Utara Aceh pada tahun 1415. Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam disambut baik bagaikan keluarga. Bahkan bukti kedekatan tersebut hingga saat ini masih ada bukti sebuah lonceng yang berada di Komplek Museum Aceh yang dikenal dengan Lonceng Cakradonya.

Chinezen Kamp

Peunayong adalah wilayah kota tertua di Banda Aceh. Didesain Belanda sebagai Chinezen Kamp (tenda) atau Pecinan. Peunayong dihuni warga Cina dari Suku Khe, Tio Chiu, Kong Hu, Hokkian dan sub-etnis lainnya.

Kegiatan perdagangan di kawasan tersebut, cukup menonjol. Karena berdagang merupakan mata pencaharian utama suku Cina, yang umumnya tumbuh di lingkungan pusat bisnis.

Pada masa Sultan Iskandar Tsani, ibukota kerajaan dibangun Taman Ghairah, satu  taman tempat bercengkerama keluarga sultan. Di taman itu, juga dibagun balai Cina, yang dibuat para pekerja Cina. Barulah pada abad ke-17, orang-orang Cina di Banda Aceh banyak berperan dalam perdagangan. Mereka, menempati rumah yang berdekatan satu sama lainnya di salah satu ujung kota di dekat laut dan daerah mereka itu saat ini dinamakan Kampung Cina.

Menurut catatan sejarah, para pedagang termasuk pedagang dari Cina, selain ada yang tinggal dan berdagang secara permanen di ibukota Aceh, ada juga pedagang musiman. Pedagang itu datang dengan kapal layar. Kapal-kapal Cina membawa beras ke Aceh. Mereka tinggal dalam perkampungan Cina, di ujung kota dekat pelabuhan. Mereka menurunkan barangnya di pelabuhan untuk selanjutnya didistribusikan.

Lokasi tempat menurunkan barang tersebut kini dikenal sebagai Peunayong. Hingga Sekarang Peunayong menjadi Pusat Perdagangan Terbesar. Tidak hanya pada saat zaman kesultanan saja, tetapi keberadaan Peunayong tetap dipertahankan sampai pada zaman penjajahan Belanda. Daerah ini sengaja di desain dan dibangun dengan konsep kampung pecinan yang sampai saat ini masih terlihat sejumlah bangunan peninggalan tempo dulu sebagai saksi bisu kemegahan Aceh pada masa lampau.

Pada tanggal 26 Desember 2004 tsunami menyapu daratan Aceh, Peunayong termasuk salah satu daerah yang tersapu gelombang maha dahsyat tersebut. Kawasan ini lumpuh total, puing-puing bekas bangunan berserakan. Mayat bergelimpangan. Peunayong berubah menjadi kota mati. Para penghuninya memilih mengungsi ke propinsi tetangga, Sumatera Utara dan daerah lainnya.

Namun kini kondisi Peunayong semakin tertata rapi dengan taman pohon rindang yang tumbuh di sepanjang median jalan. Bahkan kehidupan pedagang pun semakin menggeliat. Sebagai basis dari etnis Tionghoa, Peunayong memang menjadi pusat perdagangan di Kota Banda Aceh sampai dengan saat ini.

serambiwiki.com
bandaacehkota.go.id